Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Slamet, tinggallah seorang kakek bernama Mbah Warto.
Setiap pagi, Mbah Warto memanaskan air pakai tungku, menyapu halaman, dan menyiapkan teh manis buat cucunya, Seno.
Seno baru pindah dari Jakarta. Ia anak kota yang biasa hidup dengan gadget dan Wi-Fi cepat.
Awalnya, Seno terlihat murung.
Tak ada YouTube, tak ada teman, tak ada game.
Hingga suatu sore, saat sinyal datang lewat angin gunung, Seno berseru:
“Mbah! Sinyalnya dapet! Aku bisa buka fomototo!”
Dari Terheran ke Ketagihan
Mbah Warto mendekat, menatap layar kecil cucunya yang penuh warna.
Ia tak paham apa itu "fomototo", tapi melihat cucunya tersenyum, ia ikut duduk di samping.
Seno menjelaskan pelan, “Ini game gampang, Mbah. Gak perlu download. Bisa langsung main.”
Mbah Warto mencoba.
Tangannya gemetar, matanya sedikit buram, tapi ia tertawa kecil saat berhasil menyusun angka dalam game.
“Ternyata Otak Mbah Masih Waras!”
Sejak hari itu, tiap sore mereka duduk di bale bambu.
Main game di fomototo, sambil ngemil pisang goreng.
Tak ada lomba. Tak ada hadiah. Hanya kebersamaan.
Mbah Warto tak lagi hanya sekadar menghabiskan hari,
Ia merasa muda kembali.
Merasa belajar hal baru.
Merasa dekat dengan cucunya — lewat dunia yang dulu asing baginya.
Pesan dari Kakek untuk Kita Semua
“Kadang, zaman berubah terlalu cepat,” kata Mbah Warto.
“Tapi kalau bisa menemukan titik temu, teknologi bukan pemisah. Tapi jembatan.”
Fomototo, buat Mbah Warto, bukan sekadar situs game.
Tapi cara untuk berkata:
"Aku bisa mengerti duniamu, Nak."
Penutup: Antara Tradisi dan Teknologi
Kisah Mbah Warto dan Seno hanyalah dongeng.
Tapi di banyak desa, cerita serupa bisa nyata.
Saat dua generasi saling membuka ruang — lewat hal sederhana.
Dan siapa sangka?
Fomototo, yang awalnya dianggap hanya hiburan digital,
bisa menjadi media penghubung dua dunia:
masa lalu dan masa depan.